"Layla.. Layla.. Layla...

It's about having my mind busy with you
and no one else..."

Perjalanan Rifa’ah al-Thahthawi ke Paris

“Negeri kita harus berubah dan melakukan pembaruan dengan ilmu pengetahuan yang belum terdapat di dalamnya.” Inilah ucapan Syekh al-Azhar ke-16, Syekh Hasan Muhammad al-‘Atthar (1766-1825) untuk membangkitkan bangsa Mesir dari akibat penjajahan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798. 

Syaikh Hasan Muhammad al-Atthar1
Syekh Hasan Muhammad al-Atthar mengirim murid terbaiknya yang bernama Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873) ke Paris, Perancis untuk memimpin delegasi Mesir yang hendak mempelajari kebudayaan Eropa Modern.
Rifa’ah adalah mahasiswa al-Azhar pertama yang belajar di Paris. Dia adalah seorang mahasiswa yang telah matang dan kuat keilmuan serta akidahnya. Nasionalismenya terhadap negara sangat kokoh sehingga tidak dikhawatirkan terpengaruh oleh efek negatif budaya Eropa yang biasa kita lihat saat ini. 

Niat Rifa’ah al-Thahthawi ke Paris memang untuk mempelajari budaya Barat dan mengikis habis ketertinggalan Mesir dan negara-negara Timur lainnya. Kata beliau, “Bergaul dengan orang Barat, apalagi dengan orang yang mempunyai kecerdasan akan bisa memberi kemanfaatan yang luar biasa bagi negara.”

Di Paris, beliau belajar ilmu tata negara yang mengatur cara membangun sebuah negara yang terdiri dari masyarakat majemuk. Namun di sisi lain beliau menolak falsafah masyarakat Paris dan Eropa pada umumnya yang tidak berdasarkan agama dan atau bertentangan dengan falsafah Islam. 

Rifa’ah al-Thahthawi
Di samping itu, beliau juga belajar menyusun undang-undang untuk mengatur sebuah negara berdasarkan sistem musyarawarah, dengan meninggalkan ciri khas masyarakat Paris pada akidah dan akhlak mereka. Beliau sadar bahwa dirinya sedang belajar di sebuah masyarakat dengan budaya imperialisme yang menghalalkan penjajahan dan penindasan. Jadi, beliau akan mengambil apa yang berfaidah saja. 

Di saat Rifa’ah al-Thahthawi telah mempelajari budaya Eropa, beliau mengatakan bahwa umat Islam saat itu memaknai kata “ilmu” hanya pada ilmu naqli dan ilmu alat saja, tanpa ilmu maqasid dan ilmu tata negara. Beliau mengatakan, “Akan jelas bagimu keunggulan umat Kristen dari musuh-musuh mereka. Dengan begitu kamu bisa tahu kekurangan negara kita. Masjid al-Azhar di Kairo, masjid Banu Umayyah di Syam, masjid al-Zaytunah di Tunis, masjid Qurawiyin di Fas, sekolah-sekolah di Bukhara dan sekolah lainnya hanya dipenuhi ilmu naqli dan sebagian ilmu aqli, seperti ilmu bahasa Arab, mantiq, dan lain sebagainya.” 

Selain mengetahui ilmu tata negara, Rifa’ah al-Thahthawi juga mengenal teater Perancis untuk menyampaikan pendidikan kepada masyarakat. Menurut beliau, untuk mengatur sebuah negara sangatlah diperlukan ilmu-ilmu penting, seperti ilmu kedokteran, teknik, matematika, astronomi, psikologi, geografi, sejarah, ilmu administrasi, ekonomi perbankan, seni kemiliteran dan semua ilmu di bidang seni atau industri. 

Namun pada saat yang sama beliau menolak falsafah Kristen Eropa yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan akal saja. Beliau juga mengatakan bahwa di Paris dan kota-kota lainnya di Perancis terdapat banyak sekali perbuatan tak senonoh dan bid’ah yang menyesatkan. Kebanyakan warga Paris adalah Kristen KTP yang tidak taat beragama, serta membedakan baik-buruk suatu perkara dengan akal saja. 

Sebagai orang yang bijaksana, Rifa’ah al-Thahthawi bisa mengambil sisi positif dari budaya Perancis dan mengabaikan sisi negatifnya. Setelah pulang ke Mesir, beliau menjadi kepala terjemah nasional dan mencetak buku terjemah ilmu tata negara serta mencetak buku-buku turats yang bisa memperbarui hubungan antara akal muslim modern dengan budaya Islam yang murni. 

*Diambil dari artikel Dr. Muhammad Imarah di Majalah Al-Azhar edisi Dzulhijjah 1434 H.