"Layla.. Layla.. Layla...

It's about having my mind busy with you
and no one else..."

Filsafat dan Sejarah

By: Dr. Hassan Hanafi

Sesungguhnya keterkaitan filsafat dengan sejarah bukan hanya terdeteksi dari sejarah filsafat yang identik dengan sejarah pemikiran manusia dan dinamikanya. Melainkan dapat juga terlihat dari kajian filsafat sejarah, yaitu satu proses penalaran yang merekam terhadap perkembangan sejarah, juga alurnya dan upaya mengkaji tentang pranata yang melingkupi perkembangan dan alur  sejarah. Bahkan, pada dasarnya, dengan tanpa menilik kepada faktor sosio-historis dan kondisi faktual filsafat sebagai sebuah keniscayaan dalam rentang sejarah, sejarah filsafat bukanlah sebentuk 'ruang hampa' bagi aliran-aliran dan teori-teori filsafat.

Tegasnya, ketika filsafat dipandang sebagai akumulasi pengetahuan manusia yang bersifat personal, komunal dan mempunyai nilai sejarah, maka hal ini akan melahirkan tesa bahwa entitas sejarah filsafat tidak lain dan tidak bukan adalah sejarah manusia dan peradabannya dalam berdialektika dengan realita.

Oleh karenanya, dalam pembahasan sejarah filsafat terdapat dua spektrum yang dapat dipahami. Pertama, model pemberangusan (inkuisi) terhadap kecenderungan sejarah pemikiran secara komprehensip dan fundamental. Gaya pengkajian semacam inilah yang menimbulkan kematian filsafat. Sementara metode yang kedua dengan signifikan dapat menumbuhkembangkan filsafat, yaitu model keterlibatan (intervensi) dalam kajian sejarah dan mencari tahu motif serta latar belakang pemikiran secara total demi mendapatkan pengetahuan yang obyektif, juga menelusuri keterkaitan dan peranannya dalam setiap tahapan/ fase.Sebagai produk zaman, eksistensi filsafat sejatinya bergerak selaras dengan problematika masa yang dihadapinya dan bagaimana usaha mendapatkan  berbagai macam solusinya yang sesuai dengan paradigma kekinian.

Pergerakan dinamis ini pada akhirnya terhenti di tangan para ahli (pengajar) filsafat dan bahkan membuatnya menjadi sesuatu yang ahistoris. Filsafat menjadi tidak lebih dari seekor burung di angkasa; tanpa tempat berhinggap, juga sangkar. Padahal, korelasi antara filsafat dengan sejarah adalah sebuah keniscayaan. Artinya, maju mundurnya filsafat inheren dengan terang dan buramnya sejarah.

Keyakinan bahwa filsafat merupakan penggerak utama sejarah adalah sebuah kebenaran. Karena memisahkan keduanya akan serupa dengan memisahkan jiwa dari raga; yang hal itu hanya dapat dijumpai dalam alam gaib, juga akan berarti semisal materi yang statis dan kontra produktif dari masa ke masa dan berujung pada kemunduran umat. Ciri dominan dalam kemunduran dan kemajuan filsafat dapat terlihat dari awal dan akhir fase perjalanan sebuah aliran filsafat.

Filsafat era keemasan tumbuh dan berkembang dengan kontinuitas dan karakteristik yang melingkupinya sebagaimana yang terjadi dalam masa kemundurannya.Namun,kebangkitan filsafat muncul dalam masa-masa sulit, yaitu ketika pergerakan sejarah mendekati titik nadir dan mulai munculnya kesadaran mengawali hidup baru. Figur-figur semodel Aristoteles, Ibn Khaldun, Spencer, Toynbee, Brougson, Husserl  terlahir pada saat peradaban manusia mengalami kemerosotan, sementara tokoh-tokoh semisal Socrates, al-Kindi, Decartes, Thahthawi muncul saat kesadaran menyongsong masa depan bermula.

Dr. Hasan Hanafi
Dapat dipastikan, filsafat akan menemui ajalnya (tidak mampu berperan dalam proses pembentukan kejiwaan dan mewarnai sebuah kebudayaan) ketika mengambil jarak dengan sejarah.Sebaliknya,ketika bersentuhan dengan sejarah, filsafat berubah menjadi lintas dimensi, beralih dari masa ke masa, berpindah dari satu komunitas menuju komunitas lain, dari generasi ke generasi, tidak tersekat batasan geografis.Filsafat semacam inilah yang kini tertranformasi dari Barat, dan dengan bermodalkan filsafat, manusia –sekarang— membangun sistem perekonomian, mengembangkannya sebagai sebuah komoditas, menempatkannya sebagai sebuah kajian, dan menyusun metode pengajaran yang dengan mudah dapat ditemukan dalam berbagai diktat perguruan tinggi.

Oleh karenanya, waktu dan dinamika merupakan dua faktor yang fundamental nan signifikan bagi eksistensi nalar manusia sekaligus optimalisasinya. Keduanya serupa sumber bagi jiwa manusia dalam menemukan identitas dan pertumbuhannya.

Dan realitas historis telah mencatat kebenaran asumsi di atas. Buktinya, salah satu penyebab kematian filsafat pada Abad Pertengahan adalah kentalnya corak filsafat teologis yang tidak menganggap penting dinamika sejarah manusia dan peradabannya. Filsafat pada masa ini hanya berpijak tiga terma-terma baku: Logika, Fisika dan Metafisika dengan tidak memperhatikan dimensi sejarah dan humanisme dan hanya menempatkannya sebagai subordinat dari pembahasan filsafat metafisika. Wallahu a'lam bishowab...