"Layla.. Layla.. Layla...

It's about having my mind busy with you
and no one else..."

Pelarian Kepada Filsafat

Oleh : L'Abid d'Andaluçia
Gerakan renaissance di Eropa lahir karena dorongan semangant  yang berkobar-kobar dari kelompok kaum seniman, intelektual dan politis yang mempelopori kebebasan berfikir dan berbuat tanpa pembatasan apapun. Gerakan mereka di dorong oleh kenyataan yang mereka saksikan sehari-hari dan pengaruh Gereja yang cuma kekangan-kekangan yang membelenggu kemerdekaan berfikir. Mereka memandang agama di Eropa (Kristen) dengan penilaian yang penuh ejekan, agama di pandang oleh mereka tak lebih cuma seperangkat rangkaina dogma-dogma yang disusun bagaikan bagaikan bunga rampai yang indah di pandang, akan tetapi menghanyutkan orang banyak menjadi lalai dan beku, pasrah terhadap apa yang hendak terjadi. Bahkan di kalangan mereka yang ekstrim memandang agama dalam praktek sehari-hari di kalangan rakyat sebagai hasil meninabobokan atas nama ”kerajaan di langit”, menjadi alat orang-orang kaya, tuan-tuan tanah serta kaum feodal yang memerintah secara absolute.

Akan tetapi para penganjur renaissance itu menyadari, bahwa kebebasan berfikir itu haruslah dilandasi oleh nilai ”kekayaan batin” untuk tujuan idealisme. Kebebasan berfikir tanpa idealisme adalah sia-sia. Mereka mendambakan nilai ”rohani”, akan tetapi bukan ”agama”. Sebagai contoh, mereka mencita-citakan suatu keadilan, persamaan, dan perdamaian yang mereka kategorikan sebagai idealisme. Namun idealisme itu sendiri tidak mungkin bisa di jawab oleh hasil-hasil pemikiran semata, sekalipun sebagaimana bebasnya kemerdekaan berfikir itu. Oleh sebab itu mereka memerlukan motivasi yang bernilai ”rohani”, akan tetapi bukan Agama.

Sebab itu mereka mencari pelarian kepada filsafat !

Akan tetapi filsafat yang mana???

Mereka menampilkan suatu kriteria, bahwa filsafat yang hendak mereka jadikan tempat pelarian itu mereka beri nama ”Modern Philosophy” atau “Filsafat Baru”. Mereka jadikan “Filsafat Baru”nya itu sebagai tonggak kelahiran renaissance itu sendiri. Mereka bagi-bagi periode filsafat menjadi beberapa periode yang di mulai dengan apa yang mereka namakan ”Humanistic Period” yang berlangsung antara tahun 1453 hingga tahun kematian Bruno pada tahun 1600. Dengan lain perkataan, bahwa ”Filsafat Baru” adalah ”Periode Kemanusiaan”sebagai landasan berfikir.

Sikap pokok dari pada filsafat ialah, bahwa para Filosof dalam membentangkan fikiran bebasnya mempunyai kemerdekaan yang mutlak, baik mengenai alam semesta (makro-kosmos) maupun alam manusia (mikro-kosmos). Tetapi mengenai alam metafisika, seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) pemikiran mengenai hal tersebut adalah spekulasi, karena manusia hanya dapat mengetahui apa yang dialaminya. Hakikat dari sesuatu benda mengatasi pengalaman manusia, karena itu metafisika adalah suatu pengetahuan yang mustahil karena kesanggupan akal manusia cuma meliputi alam kenyataan.

Oleh karena itu filsafat bersumber pada pemikiran bebas, maka kita akan menjumpai berbeda-bedanya definisi yang akibatnya masing-masing fihak memanjang-manjangkan uraiannya mengenai filsafat. Hingga pernah dikatakan oleh ahli filsafat sendiri ”semakin diselami dengan akal fikiran sedalam-dalamnya, maka semakin banyak lagi yang belum diketahui……!!!

Seorang filosof adalah seorang monolog, orang yang berbicara atau bertanya kepada dirinya sendiri, dia pulalah yang menjawab. Pertanyaan-pertanyaan seperti ”what can I know?”, ”what ought I to do?” atau ”what may I hope?”. Pertanyaan-pertanyaan apa saja, yang sanggup dicetuskan oleh daya kemampuan fikirannya. Pertannyaan –pertannyaan tersebut menjadi pokok persoalan yang di dalam dunia filsafat disebut problem. Manusia melahirkan problem-problem karena itulah haknya.

Haknya sebagai makhluk yang mempunyai otak, yang membedakannya dengan binatang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengalir dengan bebas tidak boleh dihambat-hambat  dan harus menemuka jawaban-jawabannya menurut kesanggupan daya fikirannya dengan bebas pula. Bertanya dan menjawab 1000 macam problem atau masalah harus terus berlangsung tidak boleh menemukan titik akhir atau yang merupakan kejelasan terakhir berarti tamatnya dunia filsafat, hal itu tidak boleh terjadi. Filsafat tidak boleh selesai, dan sang filosof tida boleh kematian problem. Jawaban-jawaban yang mendatangkan kejelasan, itu berarti mematikan filsafat, karena itu jawaban-jawaban tidak boleh selesai. Tamatnyasuatu jawaban itu berarti berakhirnya dunia filsafat, berarti pula habisnya pertanyaan-pertanyaan, sama artinya dengan mandeknya alam berfikir, hal itu bertentangan dengan fungsi manusia sebagai ”Makhlik Berfikir”, demikian menurut bahasa filsafat.

Bangsa Arab sendiri telah mempunyai perbendaharaan kata yang maknanya sama dengan filsafat, yaitu ”Al-Hikmah” sama artinya: ”Al-kalamul muwafiqul haqqa artinya perkataan yang menyepakati kebenaran” atau ”Shawabul amri wa sadaduhu artinya kebenaran sesuatu yang sebenar-benarnya”.

Jelas sekali, seperti halnya dengan bangsa Yunani memiliki ”Philosophia”, maka bangsa Arab memiliki ”Al-Hikmah”, makna serta pembidangannya adalah sama.

Itu sebabnya mengapa dunia Islam terutama di zaman Bani Abbasiyah, orang-orang Islam menerima bidang filsafat dengan tangan terbuka. Menerima bukan untuk di telan apa adanya, akan tetapi di terima sebagai bahan perbandingan serta penelitian, untuk disaring mana yang dapat diterima untuk di manfa’atkan  dalam memahami kebenaran Islam, dan yang mana yang harus dibuang karena membahayakan Islam, serta mengacaukan ketertiban masyarakat muslim.

Janganlah dilupakan, bahwa salah satu sifat dari pada filsafat ialah memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada peranan otak dalam berfikir. Pekerjaan berfikir itu semata-mata karena hendak mengetahui kepastian suatu persoalan, apakah setelah itu dia diharuskan percaya atau tidak, hal itu adalah perkara lain. Misalnya dalam menjelajahi alam Metafisika menurut filsafat, apakah alam gaib itu ada atau tidak? itulah tugas otak untuk berfikir sedalam-dalamnya dan sepanjang mungkin. Setelah di ketemukan kongklusinya, maka apakah seorang filosof  harus mempercayainya atau tidak itu adalah urusan lain. Dengan demikian, maka filsafat selamanya mendudukkan dirinya sebagai ”penonton” yang berada di luar garis. Ambilah contoh suatu aliran dalam filsafat mengenai Tuhan. Otak  manusia digerakan untuk berfikir dan berfikir, untuk mengadakan penyelidikan serta penjelajahan sampai pada satu kesimpulan diketemulan apa itu Tuhan, filsafat tidak mau berhenti sampai di situ keadaannya semakin berbahaya jikalau akhirnya manusia harus tunduk serta menyerah kepada otaknya sendiri.

Dampak buruk yang di timbulkan oleh ajaran filsafat ialah pengaruh ajarannya yang bisa merusak aqidah umat islam, dan sebaliknya para ulama dengan sikap kritis dan kewaspadaan terhadap filsafat, maka orang-orang islam mempelajari filsafat disertai dengan pembahasan-pembahasannya. Seperti apa yang dikatakan oleh guru filsafat terkemuka Aristoteles yang banyak dikutip oleh orang-orang islam dan dipegang teguh. Aristoteles pernah berkata : ”Marilah kita berfilsafat mana kala keadaan menghendaki kita untuk berfilsafat, jikalau keadaan tidak menghendaki kita untuk berfilsafat, maka kita harus berfilsafat pula  untuk membuktikan bahwa berfilsafat itu tidak perlu……”.

Wallahu a’lam bishawab…….