"Layla.. Layla.. Layla...

It's about having my mind busy with you
and no one else..."

SEBUAH SKENARIO “NISTA” TENTANG MASA DEPAN

Memang ada gejala yang tidak menyenangkan sehubungan dengan lembaga pembawa bendera demokrasi itu sejak krisis mengguncang Indonesia. Sebab lembaga super kuasa yang mewakili dunia luar ini tak memberi dukungan yang berarti kepada Gus Dur agar melaksanakan poin-poin LoI yang tak lain dari motif cari untung.

Seperti pada masa Habibie, lembaga itu pun menjadikan dana yang dimilikinya sebagai alat penekan. Habibie cukup berani dan piawai mengayuh di antara tebing : Tuntutan Reformasi dan Tebing Dana IMF, sehingga keduanya bias diakomodasi. Penjualan aset-aset negara tak berjalan mulus di periodee Habibie, karena adanya perlawanan Menneg BUMN Tanri Abeng dan Adi Sasono yang mengusung ide-ide ekonomi kerakyatan, redistribusi asset dan lain-lain. Sedang Gus Dur yang dianggap bagian dari kaum reformis, justru sejak awal mendapat tekanan keras IMF. Sehingga terpaksa dihadapi Gus Dur juga dengan keras, antara lain lewat idenya membangun poros Jakarta–Beijing, Tokyo-New Delhi, sekuritisasi asset dan sebagainya untuk membiayai pembangunan.

Gus Dur tak bersedia menjual aset-aset potensial dan perusahaan-perusahaanpembawa bendera Indonesia semacam Texmaco, apalagi melikai dasinya, Cuma karena perusahaan tersebut punya utang. Akibatnya sampai dia dimakzulkan MPR, IMF tak pernah mencairkan pinjamannya kepada kabinet persatuan Gus Dur-Mega. Sebaliknya buat pemerintahan Megawati, yang sejak awalmemang dikehendaki dunia luar, IMF mudah mencairkan pinjaman. Namun buat Mega itu tidak gratis.

IMF meminta kepatuhan sebagai imbalan, terutama dalam program pejualan aset-aset negara yang bagus-bagus dan potensial berpindah tangan ke asingatau konsorsium untuk sekedar menutup bolong-bolong APBN, sehingga rakyat terdidik negeri ini makin khawatir terhadap masa depan bangsa. Kamu reformis pun ikut dibuat kesal.

Soemarjoto kesal, pemilik UD Tambak Udang Berdikari itu merasa disepelekan oleh manajemen BCA. Pasalnya proposal kredit yang diajukan Berdikari untuk yang ketiga kalinya ditolak bank dengan 15 juta lebih nasabah itu, yang mayoritas sahamnya telah dikuasai asing (konsorsium Farallon – Djarum), menilai business plan-nya tak layak. BCA juga meminta agunan 145% dari pinjaman, yang tak bisa dipenuhi Soemarjoto. Padahal menurutnya prospek usaha tambak udangnya seluas 30 ha di daerah Sukabumi. Hasilnya setahun bisa sampai 1.200 kg (1,2 ton) per haatau total 36 ton per tahun. Cuma dua tahun Berdikari gagal panen akibat serangan hama dan kekeringan. Gagal di BCA, Soemarjoto lantas pindah ke bank Niaga, tapi jawaban yang diterimanya tak beda, lalu dia pun menujukan proposalnya ke bank Danamon. Ternyata bank swasta nasional tersebut yang juga telah berpindah tangan ke asing pun menolak proposal Berdikari dengan alasan mirip-mirip.

Tak kuat menanggung biaya operasional termasuk untuk membayar 70 pekerja tambak, Soemarjoto lalu menjual Berdikari. John Albert seorang pengusaha makanan asal kanada, lalu menggantikan posisinya sebagai bos, dengan proposal dan business plan yang lebih “kinclong”. John berhasil menyedot dana segar dari BCA untuk mengakui sisi Berdikari. Untungnya si bos baru cukup baik hati, dia merekrut Soemarjoto untuk bekerja di tambak yang dibangunnya sendiri, sebagai superviser.

Berdikari berubah status menjadi penanaman modal asing (PMA). Kinerja perusahaan tambak udang windu itu memang terus meningkat dengan pertumbuhan 20% per tahun. Berdikari tercatat sebagai salah satu jagoan devisa, karena 90% hasilnya diekspor ke Kanada, AS, Uni Eropa. Sisanya yang 10% dilego didalam negeri untuk memasok kebutuhan restoran-restoran dan hotel-hotel bintang lima.