"Layla.. Layla.. Layla...

It's about having my mind busy with you
and no one else..."

Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi dan Seorang Musafir

Dikisahkan, pada suatu hari Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi gubernur Hijaz, Iraq, Yamamah dan Yaman, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan sedang melakukan perjalanan dinasnya. Di tengah perjalanan ia dan rombongannya melepaskan lelah berhubung dengan perjalanan yang jauh. Tidak lama kemudian, disiapkan suatu jamuan santapan siang, dan diperintahkan kepada ajudannya untuk mengundang seluruh rombongan serta siapa saja musafir yang kebetulan sedang lewat untuk diajak bersantap bersama-sama.

Seorang musafir kebetulan lewat tidak jauh dari tempat persinggahan Hajjaj, lalu dihentikanlah untuk dipersilahkan bersantap bersama-sama. Menurut ukuran yang lazim, hal demikian ini merupakan suatu kehormanatn besar.

Akan tetapi sang musafir menolak ajakan itu dengan sopan, dan katanya:

“Ma’afkan tuanku, aku sedang memenuhi ajakan dari Yang lebih Mulia dari pada tuanku, sebab itu ajakan tuanku tak dapat aku penuhi”.

“Siapakah dia hai musafir?” Hajjaj bertanya.

“Dialah Allah, yang mengajakku untuk berpuasa, maka berpuasalah aku”, jawab sang musafir.

“Berpuasa di hari yang begini panasnya?”, Hajjaj keheran-heranan.

“Justru aku berpuasa untuk suatu hari yang panasnya lebih dahsyat dibandingkan dengan hari ini”, jawab sang musafir.

“Tidakkah lebih baik anda berbuka saja di siang ini dan besok anda boleh berpuasa lagi”, Hajjaj membujuknya.

“Dapatkah tuanku menjamin suatu kepastian bahwa besok aku masih hidup?”, sang musafir menjebak dengan pertanyaan.

“Jaminan yang demikian!, tentu tak bias aku berikan”, jawab Hajjaj dengan pasti.

“Kalau demikian, mengapa tuanku hendak mengalahi suatu kepastian yang ada sekarang untuk dibayar dengan ketidak-pastiannya hari esok?” …..!!!!!

Hajjaj, nama lengkapnya Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi, seorang gubernur-militer dan penguasa tertinggi di provinsi-otonom, seorang yang terkenal berwatak keras dan bertindak sangat tegas, amat terpesona dan tergugah dibuat tak berdaya oleh seorang musafir dari suku pedalaman yang berhati polos yang dalam pandangannya siapa saja selain Allah SWT hanyalah kecil belaka.

Kepada ajudannya, Hajjaj memerintahkan agar musafir tersebut dipersilahkan untuk meneruskan perjalanannya. “Demi Allah, demikianlah Hajjaj menundukan kepalanya, “tergeraklah hatiku oleh sikap musafir ini. Ia telah memberi bekas amat dalam di hatiku”, katanya.

Kisah di atas ini member pelajaran kepada kita, bahwa Hajjaj yang terkenal dalam sejarah sebagai seorang penguasa yang sangat keras bahkan paling keras dalam menegakkan kekuasaan rezimnya, menjadi luluh hatinya dan tak berdaya berhadapan dengan seorang rakyat biasa yang teguh memelihara Taqwanya kepada Allah. Karakter hasil didikan Taqwa ini tak gampang digoncangkan oleh kehormatan yang disodorkan dihadapan mukanya. Ia memilih tetap berpuasa sekalipun ditukar dengan suatu kehormatan bersantap bersama seorang pembesar yang berkuasa sekali, padahal ia cuma menjalani puasa sunnah, artinya bukan puasa Ramadhan. Jikalau waktu itu bulan Ramadhan, niscaya Hajjaj tak akan menyelenggarakan suatu pesta di tengah-tengah perjalanan sambil mengajak orang lain untuk beramai-ramai menikmati santapan di siang hari.