"Layla.. Layla.. Layla...

It's about having my mind busy with you
and no one else..."

Panggil Saya Seorang Muslim Nasionalis...!!!!

Terus terang saya merasa gelisah dengan kenyataan faktual akhir-akhir ini di mana agama menjadi alat untuk bertikai. Entah apa yang menjadi isi atau substansi pertikaian tersebut, murni persoalan agama atau agama hanya dijadikan tumbal untuk menutupi tujuan dan motif pertikaian.

Kegelisahan saya tidak terletak pada konteks agama-teologis semata, tetapi juga terkait dengan masa depan bangsa dan Negara. Selaku orang beragama, saya merasa kecewa dengan perdebatan, pertikaian dan aksi kekerasan atas nama agama. Juni tahun 2008, FPI melakukan aksi kekerasan di Monas. FPI tidak cukup dengan ini, biasanya setiap kali bulan Ramadhan FPI melakukan aksi sweeping dan cenderung menutup paska tempat-tempat hiburan.

Dan beberapa waktu lalu agama lagi-lagi menjadi sumber konflik. Dalam kasus Temanggung dan Cikeusik menambah daftar raport merah keretakan solidaritas umat beragama. Kasus Temanggung dan Cikeusik membuktikan betapa semangat toleransi, saling menghargai tidak ada sama sekali.

Secara teologis saya tidak menyalahkan orang-orang yang memilih jalur dan jalannya sendiri. Soal teologi, keyakinan itu urusan masing-masing orang. Dan saya juga tidak dapat memaksa orang-orang Ahmadiyah untuk menyamakan pandangan dengan saya. Begitu juga dengan HTI atau FPI. Yang saya sesalkan justru karena melahirkan anarkhi dan pembunuhan. Allah pun bisa saja mengimankan orang-orang kafir yang ada di dunia ini agar mereka semua beriman, tapi apakah kita pantas di sebut sebagai orang yang beriman tanpa adanya orang kafir...????, kita bisa di sebut sebagai orang yang beriman ya karena adanya orang kafir, artinya apakah anda bangga menjadi seorang juara dari satu peserta...???, adanya orang-orang kafir, orang-orang yang bermaksiat itu hikmah bagi kita, sedangkan wujud kita bagi mereka merupakan rahmat. Semua itu adalah kekuasaan Allah SWT.

Tidak aneh dalam sejarah Islam, jika kita amati, suatu perbedaan pandangan. Bahkan perbedaan telah ada sejak awal Islam. Perbedaan pandangan soal pengganti Nabi dalam sejarah melahirkan perselisihan maha dahsyat. Begitu pula dengan perbedaan kodifikasi al-Qur’an. Bahkan,lahirnya madzhab yang empat dalam hukum fiqh juga membuktikan betapa perbedaan adalah suatu keniscayaan.

Perbedaan pandangan suatu keharusan sejarah. Namun ketika perbedaan kemudian disikapi dengan pedang, ini membuktikan betapa mental masyarakat kita tidak berani menerima fitrah ini. Padahal, andai saja Tuhan mau manusia sama pandangannya, sudah pasti terjadi. Cuma Tuhan barangkali menganggap perbedaan suatu keniscayaan yang sejatinya terjadi di dunia ini.

Jika perbedaan adalah suatu keharusan sejarah, iman atau kafir urusan Tuhan. Hanya Tuhan yang dapat memberi lisensi iman kepada siapapun hamba yang Ia senangi. Bahkan Nabi Muhammad dengan tegas ditegur Tuhan karena ambisius meminta keimanan pamannya sampai-sampai Allah berfirman: "Innaka laa tahdii (Ya Muhammad) man tasyaa wallahu Yahdi mayyasyaa.."

Jika kita mengetahui bahwa iman itu hak prerogatif Tuhan, yang berhak menentukan siapa yang sesat atau yang iman harusnya Tuhan. Manusia hanya dapat melihat lahirnya saja. Sedang Tuhan melihat apa yang tertera di hati manusia. 

Yang saya sesalkan dengan aksi kekerasaan yang dilakukan kelompok agamis-radikal bukan pada semangat mereka berama. Saya sangat apresiatif atas komitmen mereka beragama. Cuma saya keberatan ketika mereka menganggap keyakinan mereka terbaik dan kelompok di luar mereka sesat. Atau FPI menganggap keyakinan FPI itu sudah sangat bagus dan kelompok Ahmadiyah sesat-menyesatkan. Memandang diri sebagai yang terbaik dalam agama tidak dibenarkan. Dan keyakinan Ahmadiyah belum tentu saya sepakat.

Bagi saya, karena perbedaan adalah suatu keniscayaan, maka bersikap positif dan menghargai yang lain adalah suatu keharusan. Lebih jauh, sikap toleran semacam ini penting karena kita hidup berbangsa dan bernegara. Negara kita menjadikan pancasila sebagai asas Negara. Jika begitu maka pertikaian atas nama agama cenderung merugikan Indonesia. Wawasan kebangsaan, dengan hadirnya teror, bom, menjadi rapuh karena tidak ada kesatuan kata dan perbuatan yg dapat menyatukan masyarakat.

Pancasila adalah asas bangsa Indonesia di mana semangat agama tidak pernah terkurangi sedikit pun. Sebaliknya,agama menopang dan menjadi perekat bangsa. Nilai-nilai etika moral dalam agama sangat sesuai dengan Pancasila. Pancasila merupakan simbol religiutitas di mana semangat Ketuhanan Yang Maha Esa secara eksplisit mengakuinya.

Nilai moral agama seakan tidak lagi terpisah dengan moral bangsa. Bukankah setiap agama mempunyai standar moral tersendiri? Moral agama, secara umum pasti sama, menegakkan nilai keadilan dan anjuran berbuat baik. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. Dalam konteks ini,agama seharusnya menjadi benteng moral bagi Negara.

Korupsi, ketidak-adilan, apapun agamanya mengutuk praktek semacam itu.

Meski demikian, Negara dalam konteks Pancasila bukan Negara agama. Tidak ada kesatuan antara agama dan Negara. Antara agama dan Negara seharusnya saling menopang, bukan saling meniadakan. Wallahu'alam bisshowab...