"Layla.. Layla.. Layla...

It's about having my mind busy with you
and no one else..."

Bung Karno: Bukan Saya Pencipta Pancasila, Tapi Tuhan!

Beberapa hari yang lalu kita baru saja memperingati Hari Kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni. Tak dapat dipungkiri, Pancasila mampu mempersatukan bangsa hingga kini. Untuk itu, redaksi akan mengangkat pidato Soekarno terkait Pancasila. Ini adalah kutipan Pidato Bung Karno; 

Pancasila, Ilham Ilahi 
Pada tanggal 1 Juni 1945, beberapa sebelum kita mengadakan proklamasi Agustus ’45, aku telah berkata, Pancasila inilah satu-satunya dasar bagi kita. Baik sebagai bangsa, maupun sebagai Negara, untuk menyadikan bangsa yang kuat utuh, untuk menjadi Negara yang kuat. 

Saudara-saudara, aku mengucapkan suka-syukur kepada Tuhan yang selalu aku tidak lupa saudara-saudara, syukur alhamdulillah kepada tuhan ini mengucapkan suka-syukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan sebagaimana yang aku, aku terima dan rasakan, telah memberi ilham kepadaku untuk mengusulkan kepada bangsa Indonesia dasar Pancasila ini. 

Tidakkah saudara-saudara masih ingat kepada pidato saya, baik di Senayan itu, di situ, maupun di Istana Negara, bahwa pada malam akan terjadinya sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Yang harus merencanakan dasar Negara, yang akan terjadi, yaitu pada tanggal 31 Mei malam 1 Juni malam itu, karena keesokan harinya tanggal 1 Juni aku diharuskan berpidato dihadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengusulkan dasar Negara, bahwa pada malam itu aku telah keluar dari rumahku di Pegangsaan Timur, pergi keluar menengadah mukaku ke langit. Melihat kepada bintang di langit yang beribu-ribu dan berjuta-juta. Dan bahwa pada waktu itu memohon, menangis kepada Allah SWT, ya Allah, ya Robi, berilah petunyuk kepadaku apa yang besok pagi akan aku usulkan daripada Negara kita yang akan datang. Dan bahwa sesudah itu aku tidur, dan bahwa pada esok harinya aku mempunyai keyakinan, bahwa dasar yang harus aku usulkan ialah Pancasila. 

Ingatlah saudara-saudara, akan uraian itu dariku kepada khalajak ramai? Oleh karena itu bagiku, ku, ku, ku. Pancasila ini adalah semacam satu ilham daripada Allah SWT kepadaku. 

Dan memang malamnja, tadinja aku mohon kepada Allah supaja diberi petunjuk, aku kemudian tidur dan bangun, aku mempunjai kejakinan akan benarnja, tepatnja Pancasila ini. 

Dan aku tidak lupa saudara-saudara, bukan saja, sampai aku masuk lobang kubur, moga-moga di akhirat aku tetap bisa mengucapkan syukur, ya Allah, ya Robi, aku berterima kasih kepadaMu, bahwa engkaulah yang memberi ilham kepadaku akan Pancasila. Sekarang ini saudara-saudara, ada orang jang berkata, Bung Karno sekedar hanja penggali Pancasila: Bung karno sekedar hanya perumus Pancasila. 

Lho, memang, memang saudara-saudara, aku berterima kasih syukur kehadirat Allah SWT, bahwa aku dijadikan oleh Tuhan perumus Pancasila: dijadikan oleh Tuhan penggali daripada 5 mutiara jang terbenam di dalam buminja rakjat Indonesia ini, jaitu lima mutiara Pancasila. Bahwa Tuhan memberikan padaku itu saja saudara-saudara, penggali, perumus ataupun apa saja namanya, Masya Allah, Allahhu Akbar, aku mengucapkan suka-syukur kepada-Nya, sampai nanti di muka Allah SWT sendiri. 

Dan kalau ada orang berkata, he Bung Karno kau cuma sekedar penggali, sekedar perumus Pancasila aku berkata memang, ya saya perumus Pancasila, aku penggali Pancasila. Dan aku telah bersyukur, bersyukur; kok aku, dijadikan oleh Tuhan perumus daripada Pancasila, penggali daripada Pancasila ini. 

Bung Karno Bukan Pencipta Pancasila 
Saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu lain pertanyaan. 

Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hidau itu bukan buatanku, bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah kepada saudara-saudara untuk menjawabnya. Aku sekedar konstateren, menetapkan dengan kata-kata satu keadaan. 

Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan dihadapan resepsi para penderita cacat beberapa pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah-indahnya. Aku bukan pembuat berlian ini: aku bukan pencipta dari berlian-berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu. Padahal aku menemukan itu ada daun hijau”. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa Pancasila adalah buatan manusia, aku sekedar menjawab: “Aku tidak merasa membuat Pancasila itu; tidak merasa menciptakan Pancasila itu”. 

Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan dari pada manusia. Malahan manusia jang tidak lebih daripada saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu. 

Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh-puluh pulau yang besar-besar, beratus-ratus, beribu-ribu bahkan berpuluh-puluh ribu pulau-pulau yang kecil-kecil. Di atas kepulauan yang berpuluh-puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna adat istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara berfikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu bangsa yang beraneka warna agamanya. 

Bangsa jang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu Negara jang kuat. Maksud kita yang pertama sedjak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan bangsa yang 80 juta ini di dalam satu Negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografie, kuat pula oleh karena berdiri di atas kesatuan tekad. 

Pada saat kita menghadap kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, dan alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian, kita menghadapi soal bagaimana Negara hendak datang ini, kita letakan di atas dasar apa. Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, difikir-fikirkan soal ini dengan cara jang sedalam-dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali saya formuleeren apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan “Pancasila”. Sekedar formuleren, oleh karena lima perasaan ini telah hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun di dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan-perasaan ini? Saya sebagai orang yang pecaya kepada Allah SWT berkata: “Sudah barang tentu yang memberikan perasaan-perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Alah SWT pula”. 

Sajak Soekarno 
Pada hari mulia ini, ada baiknya puisi Bung Karno yang berjudul, “Aku Melihat Indonesia” dikutip untuk membangun nasionalisme bangsa yang berasaskan Pancasila. 

“Aku Melihat Indonesia” 

Jika aku berdiri di pantai Ngliyep
Aku mendengar lautan Indonesia bergelora
Membanting di pantai Ngeliyep itu
Aku mendengar lagu – sajak Indonesia 

Jikalau aku melihat
Sawah menguning menghijau
Aku tidak melihat lagi
Batang padi menguning – menghijau
Aku melihat Indonesia 

Jika aku melihat gunung-gungung
Gunung Merapi, gunung Semeru, gunung Merbabu
Gunung Tangkupan Prahu, gunung Klebet
Dan gunung-gunung yang lain
Aku melihat Indonesia 

Jikalau aku mendengar pangkur palaran
Bukan lagi pangkur palaran yang kudengarkan
Aku mendengar Indonesia 

Jika aku menghirup udara ini
Aku tidak lagi menghirup udara
Aku menghirup Indonesia 

Jika aku melihat wajah anak-anak di desa-desa
Dengan mata yang bersinar-sinar
(berteriak) Merdeka! Merdeka!, Pak! Merdeka! 

Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia!